KEADILAN, KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN
(PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM)
A. PENGERTIAN DASAR TENTANG HUKUM
Manusia dilahirkan seorang diri, namun dalam
hidupnya ia tidak dapat hidup sendiri. Ia butuh orang lain, ia butuh keluarga,
butuh teman, butuh kawan, butuh masyarakat. Manusia adalah mahluk sosial.
Aristoteles mengistilahkan ini sebagai zoon politicon.[1] Naluri manusia untuk hidup dengan orang lain itu dikenal dengan istilah
gregariousness. Tanpa orang lain, manusia tidak akan bertahan hidup.
Sejak dilahirkan manusia mempunyai dua
hasrat/keinginan, yakni hasrat untuk menjadi satu dengan manusia lain yang
berbeda di sekelilingnya, yaitu masyarakat, dan hasrat untuk menjadi satu
dengan alam sekelilingnya. Bahkan jika sudah bersatu dengan lingkungan alamnya,
maka manusia akan sulit dipisahkan dengan lingkungan alam tersebut. Demikian
pula halnya dengan masyarakat. Jika manusia sudah bersatu dengan masyarakatnya,
maka manusia akan sulit dipisahkan dengan masyarakatnya itu.
Di lingkungan masyarakat, akan terjadi kontak di
antara manusia yang satu dengan yang lain. Di dalam masyarakat manusia akan
berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya.
Sesuatu hal yang tidak mudah menciptakan
definisi/pengertian tentang suatu hal. Pada tiap-tiap definisi akan terdapat
kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga definisi yang satu akan
terbantahkan oleh definisi yang lain.
Demikian pula halnya dengan definisi tentang hukum. Dalam kenyataannya
banyak terdapat definisi tentang hukum yang dicetuskan oleh para sarjana. Di
antaranya adalah sebagai berikut:[2]
1. Menurut E. Utrecht, hukum adalah
himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib
dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika
dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu.
2. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum adalah karya manusia berupa norma-norma
yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana
harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum mengandung rekaman dari
ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut
berupa ide mengenai keadilan.
3. Menurut J.C.T. Simorangkir, hukum adalah peraaturan-peraturan bersifat
memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran
peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukum.
4. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum adalah ketentuan atau pedoman tentang
apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan. Pada hakekatnya kaedah hukum
merupakan perumusan pendapat atau atau pandangan tentang bagaimana seharusnya
atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaedah hukum
bersifat umum dan pasif.
Apabila diperhatikan, di antara definisi-definisi
itu tidak ada yang mempunyai kesamaan di antara definisi yang satu dengan
definisi yang lain. Bahkan jika diperhatikan lebih dalam lagi, masing-masing
definisi itu mempunyai kelemahan-kelemahannya sendiri. Dalam artian definisi
hukum yang satu terbantahkan oleh definisi hukum yang lain. Imanuel Kant,
seorang sarjana berkebangsaan Jerman yang hidup
pada abad lalu mengatakan “Noch
suchen die Juristen eine Definition zu Ihrem Begrife von Recht”, yang
artinya “tidak ada seorang yuris pun yang dapat merumuskan definisi tentang
hukum”.[3]
Lemaire mengatakan, Hukum sulit didefinisikan
karena hukum mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak
mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu dalam satu definisi. Di
samping itu hukum meliputi segala lapangan. Inilah yang semakin menyebabkan
orang tidak mungkin membuat definisi tentang apa hukum itu[4]
Namun demikian sebagai pegangan, berikut ini dikemukakan salah satu definisi di
antara definisi-definisi hukum yang ada.
Hukum adalah salah satu pedoman tingkah laku
manusia, yang sifatnya lebih kongkrit dan mempunyai akibat hukum jika atas
hukum tersebut dilanggar atau tidak dipatuhi.[5]
Hukum adalah :
1.
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup
masyarakat.
2.
Peraturan yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3.
Peraturan itu bersifat memaksa.
4.
Sanksi terhadap pelanggaran aturan itu adalah tegas.
B.
HUKUM DAN KEADILAN
Evolusi
filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan,
berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di antara
problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan
keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia
diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk
mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang
memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh
kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengaktualisasikannya. Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan
atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman
tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis
yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari
pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum.
Pengertian
Keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Secara hakiki dalam diskursus
hukum, keadilan dapat dilihat dalam 2 arti pokok, yaitu dalam arti formal yang
menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materiil yang
menuntut hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.[6] Namun apabila ditinjau
dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang
dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang
tertuang dalam banyak literatur tersebut tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema
moral, politik dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu secara tunggal
hampir-hampir sulit untuk dilakukan.
Namun
pada garis besarnya, perdebatan mengenai keadilan terbagi atas 2 arus
pemikiran, yang pertama adalah keadilan yang metafisik yang diwakili oleh
pemikiran Plato, sedangkan yang kedua keadilan yang rasional diwakili oleh
pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik sebagaimana diuraikan oleh
Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi.
Sementara keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari
prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.[7] Keadilan yang rasional
pada dasarnya mencoba menjawab perihal keadilan dengan cara menjelaskannya
secara ilmiah, atau setidaknya alasan yang rasional. Sementara keadilan yang
metafisik mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu
fungsi di atas dan di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat
dipahami menurut kesadaran manusia berakal.[8]
Pemetaan
dua arus utama pemikiran keadilan ini kemudian ditegaskan kembali oleh John Rawls. John Rawls menjelaskan
kembali perihal aliran pemikiran keadilan yang pada dasarnya tidak berbeda
dengan yang telah disebutkan di atas, bahwa pada umumnya, aliran pemikiran
keadilan juga terbagi atas dua arus utama, yang pertama aliran etis dan yang
kedua aliran institutif. Aliran yang pertama menghendaki keadilan yang
mengutamakan pada hak daripada manfaat keadilan itu sendiri, sementara yang
kedua sebaliknya lebih mengutamakan manfaat daripada haknya. [9]
Keadilan
itu dapat berubah-ubah isinya tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi
keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Namun secara umum, ada
unsur-unsur formal dari keadilan, sesuai dengan pembagian aliran keadilan
menurut Kelsen dan Rawls yang pada dasarnya terdiri atas;
1.
Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap
pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum.
2.
Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan
manfaat kepada setiap individu.
Dengan
unsur nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat
ditambah bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud
lahiriah tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai
keadilan ini memiliki aspek empiris juga, disamping aspek idealnya,[10] maksudnya adalah
apa yang dinilai adil dalam konteks hukum harus dapat diaktualisasikan secara
konkret menurut ukuran manfaatnya. Dengan adanya ukuran manfaat nilai keadilan
ini pada akhirnya keadilan dapat dipandang menurut konteks yang empiris juga.
Seorang
terdakwa misalnya, dapat merasakan suatu nilai keadilan jika apa yang dilakukan
sebagai tindak pidana menurut hukumnya, dihukum sesuai dengan berat dari
kesalahannya. Dengan demikian, terdakwa merasakan bahwa hukumannya adalah
sebanding dengan kesalahan yang telah diperbuat, dan apa yang dianggapnya
sebagai hal yang setimpal atau sebanding itu, merupakan pencerminan dari nilai
keadilan yang ideal. Jika hukumannya dirasakan tidak sebanding, maka hukuman itu
dapat dinyatakan sebagai perwujudan yang melawan nilai-nilai ideal dalam
keadilan. Di sinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, apa yang
pantas diterima oleh seseorang sebagai konsekuensi lanjutan dari norma hukum
yang mengaturnya. Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau
pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui
dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sama derajatnya, dan
sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya
keadilan adalah meletakkan segala
sesuatunya pada tempatnya Istilah keadilan berasal dari kata adil yang berasal
dari bahasa Arab. Kata adil berarti tengah. Adil pada hakikatnya bahwa kita
memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Keadilan berarti tidak
berat sebelah, menempatkan sesuatu di tengah-tengah, tidak memihak. Keadilan
juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana setiap orang baik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memperoleh apa yang menjadi haknya,
sehingga dapat melaksanakan kewajibannya.
Keadilan merupakan salah
satu tujuan hukum selain kepastian dan
kemanfaatan yang paling banyak dibicarakan. Idealnya hukum harus
mengakomodasikan ketiganya. Namun ada yang berpendapat bahwa keadilan merupakan
tujuan yang paling penting bahkan satu-satunya. Contohnya seorang hakim
Indonesia, Bisma Siregar mengatakan “bila untuk menegakkan keadilan saya
korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana,
sedangkan tujuannya adalah keadilan“.[11]
Adil dan tidak adil
merupakan bentuk kritik moral yang lebih spesifik daripada baik dan buruk atau
benar dan salah , terlihat jelas dari fakta bahwa kita mungkin secara logis
mengklaim sebuah hukum adalah baik karena hukum itu adil, atau bahwa hukm itu
buruk karena tidak adil, namun kita tidak mengklaim bahwa hukum itu adil karena
baik, atau tidak adil karena buruk.[12]
Menurut
Roscoe Pound keadilan dikonsepkan sebagai hasil- hasil konkrit yang bisa di
berikan kepada masyarakat. Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang
diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya
dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Dengan kata lain semakin meluas/ banyak
pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghindari pembenturan
antara manusia. Jadi Keadilan adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan
perlakuan terhadap objek diluar dari kita. Objek yang diluar dari kita ini
adalah manusia, sama dengan kita. Oleh karena itu ukuran tersebut tidak dapat
di lepaskan dari arti yang kita berikan kepada manusia, tentang konsep kita
kepada manusia.
Bagaimana
anggapan kita tentang manusia, itulah yang membawakan ukuran-ukuran yang kita
pakai dalam memberikan perlakuan terhadap orang lain. Apabila manusia itu
kita anggap sebagai mahluk yang mulia, maka perlakuan kita kepadanya pun akan
mengikuti anggapan yang demikian itu dan hal ini akan menentukan ukuran yang
akan kita pakai dalam menghadapi mereka.[13]
Dimana Thomas Aquinas menyatakan bahwa setiap orang secara moral hanya terikat
untuk mentaati hukum yang adil, dan bukan kepada hukum yanng tidak adil. Hukum
yang tidak adil harus dipatuhi hanya apabila tuntutan keadaan yakni untuk
menghindari skandal atau kekacauan.[14]
Hubungan antara keadilan
dan hukum identik dengan keadilan dengan kepatuhan kepada hukum. Namun pendapat
ini keliru kecuali jika hukum diberi makna luas, karena pendapat hukum seperti
ini akan membuat orang tidak bisa menjelaskan fakta bahwa kritik atas keadilan
tidak terbatas pada pelaksanaan hukum dalam kasus-kasus tertentu, melainkan
hukum itu sendiri juga sering kali dikritik berdasarkan adil atau tidaknya.
Dalam hukum pidana maupun
perdata akan dipandang tidak adil jika dalam distribusi beban dan manfaat
keduanya melakukan diskriminasi karakteristik seperti warna kulit atau
keyakinan agama. Jika para pembunuh yang tergolong sebagai anggota gereja yang
mapan akan dibebaskan dari hukuman.[15] Hukum seperti ini dalam masyarakat modern akan dicela
sebagai hukum yang tidak adil.
Penilaian keadilan atau
ketidakadilan hukum bisa jadi dihadapkan pada pendapat berlawanan yang dituntun
oleh sebuah moralitas yang berbeda. Misalnya hukum yang mengecualikan atau
tidak memberikan kekuasaan kepada anak-anak atau orang tidak sehat akalnya
dalam pembuatan kontrak atau wasiat dianggap adil. Karena mereka tidak memiliki
kapasitas, yang dimiliki oleh orang dewasa yang sehat akalnya. Diskrimasi ini
dibuat atas alasan yang jelas-jelas relevan.[16]
Terkait dengan
undang-undang bahwa undang-undang dibuat dengan tujuan kebaikan masyarakat, keamanan
rakyat, perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu para pembuat undang-undang
harus merumuskan dan menuliskan sesuai dengan moral dan kebahagiaan umum
sehingga rakyat menerima dan mentaati, yang didalamnya tercakup seluruh hakikat
dan seluruh daya keadilan.[17]
C.
HUKUM DAN KEPASTIAN
Hukum dan kepastian merupakan suatu tema yang
sangat menarik untuk terus kita lakukan pengkajian dan kita diskusikan, hal ini
dikarenakan antara hukum dan kepastian adalah dua hal yang sangat sulit untuk
dipisahkan. Hukum ada adalah untuk adanya kepastian, adanya kepastian juga
menjadikan hukum itu lebih ditaati.
Jaman kerajaan dulu yang dianggap hukum itu adalah
titah raja, jadi apa yang dikatakan raja itulah hukumnya dan rakyat harus
mentaatinya. Dalam keadaan seperti itu, hukum terkadang selalu berubah-ubah
karena sesuai dengan keinginan raja, sehingga rakyat tidak tahu pasti apakah
yang menjadi hukum hari ini, juga menjadi hukum pada hari-hari berikutnya atau
akan berubah. Hal ini menimbulkan ketidakpastian di masyarakat sehingga
siapapun yang mau berbuat atau bertindak selalu menunggu titah raja apa
diperbolehkan atau tidak.
Dari gambaran yang sederhara tersebut, maka sangat
penting manakala hukum itu mengandung kepastian. Untuk mewujudkan adanya
kepastian maka hukum itu harus diciptakan terlebih dahulu sebelum
perbuatan-perbuatan yang diatur dalam hukum itu dilakukan, sehingga masyarakat
menjadi tahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan serta mengetahui
konsekuensinya kalau mereka berbuat bertentangan atau melawan hukum. Disamping
itu, hukum itu juga dapat dijadikan pedoman untuk bertindak dan berbuat oleh
pejabat pemerintahan maupun masyarakat.
Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada
prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari
kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung
jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat
dengan instrumen hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya
dalam hukum positif [18].
Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai
suatu nilai yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan.
Sehingga hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya
ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara filsafati hukum diharapkan dapat memenuhi
aspek ontologi yaitu menciptakan ketentraman dan kebahagian bagi hidup manusia,
sebagai suatu tujuan yang ingin dicapai setiap manusia dan merupakan hakikat
dari hukum itu sendiri. Menurut Theo Huijbers hakekat hukum juga menjadi sarana
bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil (rapport du droit, inbreng van recht) [19].
Secara Epistemologi hukum dilahirkan melalui suatu metode tertentu yang
sistematis dan obyektif serta selalu dilakukan pengkajian-pengkajian, sehingga
melahirkan ilmu hukum yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Dalam aspek
Aksiologi, hukum memiliki nilai-nilai yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh
setiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum sebagaimana
diartikan dalam pembahasan sebelumnya memiliki cakupan yang sangat luas, yang
tidak hanya peraturan perundang-undangan atau sering disebut hukum positif
tetapi juga hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Kaitannya dengan kepastian, timbul suatu pertanyaan
“apakah semua hukum tersebut memiliki nilai kepastian”. Pertanyaan ini akan
terjawab manakala kita mengkaji hukum-hukum tersebut secara lebih mendalam.
Hukum yang ditaati
masyarakat mengandung nilai kepastian tidak terkecuali hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law). Nilai
kepastian inilah yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat sehingga dapat
memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban. Hukum yang hidup dalam
masyarakat seperti misalnya hukum adat justru nilai ketaatannya terkadang
melebihi hukum positif, masyarakat terkadang lebih takut dengan hukum adat
dibandingkan hukum positif. Namun demikian, kepastian hukum yang ada dalam
hukum adat tentunya tidak sama dengan kepastian hukum yang ada dalam hukum
positif, karena hukum adat bersifat lokal dan umumnya berbeda dengan hukum
adat-hukum adat di wilayah lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kepastian mengandung
beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir,
tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku
tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat
memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain
tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan.
Untuk tercapainya nilai
kepastian di dalam hukum, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan
mudah diperoleh (accesible), yang
diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2. Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan) menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya;
3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena
itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
5. Bahwa putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan.
Kelima syarat yang
dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika
substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu
menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan
budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini yang disebut sebagai
kepastian hukum yang sebenarnya (realistic
legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara
dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.
Menurut Lon Fuller hukum
itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian apabila di dalamnya terdapat 8
(delapan) asas, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak
berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada public.
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas.
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan.
7. Tidak boleh sering diubah-ubah.
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.[20]
Asas-asas tersebut
mengandung makna bahwa hukum dapat dikatakan akan memiliki nilai kepastian jika
hukum itu ada atau dibuat sebelum perbuatan yang diatur dalam hukum tersebut
ada (asas legalitas). Kepastian ini juga menjadi tujuan dari hukum disamping
tujuan yang lain yaitu keadilan dan kemanfaatan.
Asas legalitas merupakan salah satu ciri pokok
dari negara hukum untuk mencapai adanya kepastian hukum. Asas legalitas
menjadikan hukum digunakan sebagai landasan berpijak bagi setiap aktivitas
manusia dan subyek hukum lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah
satu ciri negara hukum yang didalamnya juga tersurat asas legalitas, sebagaimana
disampaikan Sri Soemantri bahwa Negara Hukum mengandung empat unsur penting,
yaitu:
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar
atas hukum/peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara
4. Adanya pengawasan (dari badan-badan peradilan).[21]
D.
HUKUM DAN KEMANFAATAN
Pembicaraan tentang hukum saat ini tidak dapat
dipisahkan dengan konsep-konsep hukum yang telah berkembang ribuan tahun yang
lalu. Istilah hukum pada masa lalu identik dengan istilah moral atau etika.
Pembahasan tentang hukum, moral dan etika saat ini merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan.
Terdapat banyak tokoh ahli hukum yang berperan
dalam pengembangan konsep hukum yang dibagi dalam beberapa aliran sesuai
pandangan pemikirannya. Kesemuanya bertujuan untuk merumuskan konsep yang
paling ideal dan baik tentang hukum sehingga dapat memberikan manfaat dalam
kehidupan manusia. Hukum sebagai moral dan aturan dipikirkan, dirumuskan dan
diberlakukan untuk mewujudkan ketertiban, ketentraman, kesejahteraan, dan
kebahagiaan. Aliran-aliran tersebut diantaranya: aliran hukum alam, aliran
positivisme, aliran utilitarianisme, aliran sejarah, dan aliran realisme.
Berbagai aliran pemikiran mewarnai konsep dan pemberlakuan hukum selama ribuan
tahun.
Aliran hukum alam atau hukum kodrat terbagi dalam
dua kelompok pemikiran, irrasional dan rasional, merupakan aliran yang paling
tua dan cukup eksis sampai abad ke 17 an. Tokoh yang dibahas dalam buku ini
adalah Aristoteles, Thomas Aquinas, Hugo de Groot (Grotius) dan Immanuel Kant.
Aristoteles filsuf yang lahir dan menetap di Yunani memandang moral sebagai
hukum. Sumber moral adalah Tuhan dan rasio manusia. Segala sesuatu akan menjadi
baik jika didasarkan pada keduanya. Hukum yang didasarkan pada perintah Tuhan
dan rasio manusia terkandung prinsip keadilan yang bertujuan untuk memperoleh
kebahagiaan hidup. Keadilan harus selalu diupayakan walaupun dalam kenyataannya
menurut Aristoteles kebahagiaan yang hakiki hanya berada ketika terjadi
perjumpaan antara manusia dengan Tuhannya di akherat.
Thomas Aquinas yang hidup seribu tahun lebih
setelah Aristoteles memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan
Aristoteles. Pandangannya tentang lex
aeterna, lex devina, lex natura dan lex humana menunjukkan adanya campur
tangan dari Tuhan dan rasio manusia dalam pembentukan dan pemberlakuan hukum.
Tuhan sudah menentukan kodratnya yang bersifat mutlak, manusia memiliki rasio
yang diberikan oleh Tuhan, keberadaan alam yang sangat mempengaruhi kehidupan
manusia, manusia mengolah semuanya menjadi moral atau hukum yang baik dan
diterapkan dalam kehidupan manusia.
Grotius menyatakan hukum atau moral berpangkal
pada rasio manusia yang diberikan oleh Tuhan. Walaupun demikian Tuhan tidak
dapat mempengaruhi rasio manusia yang telah terbentuk seiring dengan kondisi
alam. Alam akan lebih dominan mempengaruhi rasio. Hukum akan bermanfaat jika
hukum dibuat didasarkan pada adanya kontrak antara rakyat dan pemerintah, atau
antar penguasa. Manusia harus menjaga miliknya dan miliki orang lain secara
adil serta menepati janji merupakan unsur yang sangat penting agar kontrak yang
sudah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika demikian maka manusia akan
mendapatkan kemanfaatan dari hukum.
Immanuel Kant berpendapat bahwa akal budi tidak
sebatas pada realitas yang nampak, realitas tersebut telah dipengaruhi oleh
rasio manusia, persepsi manusia sangat mempengaruhi suatu obyek. Moralitas
manusia harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap orang lain. Hukum akan
berdaya guna jika individu ditempatkan sebagai pelaku, diberi kebebasan, dan
otonomi. Individu harus menjalankan kewajibannya, pemenuhan kewajiban yang
terbaik adalah yang didasarkan pada dorongan kesadaran akan adanya kewajiban,
bukan karena kebijaksanaan atau rasa belas kasihan atau emosional. Ketaatan
pada hukum didasarkan pada dorongan dari luar, yaitu keharusan atau kewajiban
untuk melaksanakannya. Jika masyarakat melaksanakan hukum karena dorongan
kewajiban tersebut maka keadilan akan tercapai.
Aliran positivisme hukum yang dikembangkan oleh
John Austin dan Hans Kelsen memisahkan secara tegas antara hukum dan moral.
Austin mengakui Tuhan sebagai pembentuk hukum. Hukum yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari adalah hukum yang dibuat oleh manusia, penguasa negara,
kelompok atau individu yang memiliki kewenangan. Hukum akan berdaya guna jika
berisi perintah, dibuat oleh yang memiliki kekuasaan, adanya sanksi yang
menjadi dorongan masyarakat untuk melaksanakannya.
Hans Kelsen sangat terkenal dengan teori hukum
murninya, hukum harus bebas dari pengaruh sosial, politik, budaya, sejarah dll.
Hukum yang baik harus didasarkan pada grundnorm
atau norma dasar yang diperoleh dari nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat. Hal ini didasarkan pada keyakinan Kelsen bahwa semua manusia
memiliki potensi keadilan yang seringkali tidak disadarinya. Dalam grundnorm
akan terbentuk stufenbau teori yaitu penjenjangan dalam hukum, mulai yang
tertinggi (paling umum dan abstrak) sampai terendah (paling khusus dan konkrit).
Jika hukum dibuat demikian maka pelaksanaan hukum dapat melahirkan ketertiban
dan kedamaian.
Aliran Utilitarianisme mendapat dukungan pemikiran
dari beberapa tokoh, mulai dari pencetusnya Jeremy Bentham, John Stuart Mill,
dan Rudolf von Jhering. Bentham dikenal sebagai peletak dasar aliran
utilitarianisme menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan
kebahagiaan bagi sebesar-besarnya jumlah manusia. Kebahagiaan tersebut harus
baik dan tidak mengganggu orang lain walaupun penekananya pada kebahagiaan
individu.
John Stuart Mill sebagai pengikut Bentham
memberikan argumen yang agak berbeda dengan Bentham. Mill menyatakan antara
keadilan, kegunaan, individu, dan masyarakat umum yang saling berkaitan. Hukum
akan menjadi baik dan bermanfaat jika didasari oleh rasa keadilan, manusia
cenderung akan kesal jika tidak dapat memperoleh kebahagiaan. Sementara itu
dalam diri manusia terdapat rasa sosial yang dapat mengobati kekesalannya atas
tidak didapatkannya kebahagiaan. Dalam hal yang demikian itu terkandung unsur
pertahanan diri dan simpati yang bersifat alamiah.
Rudolf von Jhering memiliki pandangan yang sama
dengan Bentham dan Mill bahwa tujuan hukum adalah mencapai kebahagiaan.
Pandangan tentang kebahagiaan yang diperoleh sangat bersifat indivudualistis.
Pusat kebahagiaan adalah cita diri yang dalam pemerolehannya tidak dapat
dilepaskan dari orang lain atau masyarakat. Diperlukan adanya kerjasama dengan
orang lain untuk mencapai kebahagiaan. Akan tetapi semua yang dilakukan para
individu ini pasti memiliki pamrih, yaitu demi terpenuhi kebutuhannya. Dengan
demikian hukum yang baik dan bermanfaat jika hukum mengakomodir kepentingan
individu dalam memperoleh kebahagiaan dan mampu mampu menyerasikan antara
kepentingan individu dan masyarakat. Pembuat hukum yang baik adalah yang dapat
mengetahui kepentingan masyarakat.
Aliran Sejarah mengajarkan bahwa hukum terbentuk
dalam masyarakat. Dua tokoh aliran sejarah adalah Von Savigny dan John
Frederich Puchta. Von Savigny menyatakan hukum tumbuh karena rasa keadilan yang
terletak pada jiwa bangsa. Hukum telah ada pada masing-masing masyarakat
seiring dengan kebiasaan dan adat-istiadat mereka. Tugas ilmuan hukum adalah
mengeksplorasi, menemukan, dan merumuskan kembali menjadi aturan-aturan yang
berlaku. Kemanfaatan dan kegunaan hukum dapat terwujud dengan baik jika
pembuatan dan pelaksanaannya mengacu pada nilai-nilai, kebiasaan dan adat
istiadat dalam masyarakat tersebut.
Puchta adalah murid Savigny, hukum dapat dibentuk
dari adat istiadat, undang-undang, atau karya ahli hukum. Menurutnya ada bangsa
alam dan bangsa nasional. Penemuan oleh ilmuan hukum dapat dijadikan sebagai
peraturan bersama jika disahkan oleh masyarakat bersama melalui negara. Negara
punya kewenangan untuk menerapkan aturan-aturan yang dirancang berdasarkan
hasil riset para ilmuan, hukum baru berlaku setelah ada pengesahan dari negara.
Dengan demikian dapat dikatakan hukum yang baik sebetulnya adalah yang digali
diambil dari kebiasaan dalam masyarakat. Hukum tersebut akan lebih bermanfaat
bagi masyarakat jika telah disahkan oleh negara sebagai hukum yang berlaku.
Aliran Sociological Jurisprudence dikembangkan
atas dasar pemikiran bahwa hukum memiliki keterkaitan yang sangat besar dengan
masyarakat. Dua tokoh terkenal yang dibahas adalah Eugen Ehrlich dari Eropa dan
Roscou pound dari Amerika. Ehrlich menyatakan bahwa hukum yang baik adalah
aturan-aturan atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian
hukum akan dapat berjalan dengan baik jika hukum dilahirkan dari kenyataan sosial
yang ada dalam masyarakat.
Roscou pound sangat terkenal dengan teorinya law as a tool of social engineering atau
hukum adalah sebagai alat untuk merekayasa masyarakat. Hukum yang baik berisi
tentang keinginan-keinginan dan kepentingan dari anggota masyarakat. Hukum yang
didasarkan pada keinginan atau kebutuhan masyarakat tersebut akan lebih mudah
untuk merekayasa masyarakat agar tindakannya sesuai dengan yang diharapkan oleh
hukum atau pembuat hukum.
Aliran Realisme dibagi menjadi dua, yaitu Realisme
Amerika dan Realisme Skandinavia. Realisme Amerika mengemukakan bahwa hukum
yang baik adalah yang dilahirkan dari pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam
masyarakat. Pihak yang paling cocok untuk melahirkan peraturan adalah hakim
sebagai pihak yang berpengalaman langsung menangani berbagai masalah hukum.
Hukum harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat agar dapat
bermanfaat secara maksimal.
Menurut aliran Realisme Skandinavia menyatakan
bahwa hukum dikembangkan dengan melakukan pengamatan. Pengembangan hukum yang
demikian akan lebih mengilmiahkan hukum sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
Hukum yang dibuat harus diartikan sebagai peraturan yang bertujuan untuk
kesejahteraan bersama. Hukum akan membentuk moral masyarakat menjadi lebih
baik. Demi tercapainya tujuan tersebut maka pembuatan hukum harus didasarkan
pada analisis kebutuhan masyarakat. Pembuatan hukum melalui observasi yang
didasarkan demi kesejahteraan masyarakatlah yang dapat menjadikan hukum
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi.
Bello Petrus, Hukum dan Moralitas, 2012, Erlangga,
Jakarta
Bello Petrus, Hukum dan Moralitas, 2012, Erlangga,
Jakarta
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006
Darji
Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
2004, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Dewa Gede
Atmajaya, Filsafat Hukum, 2013,
Setara Press, Malang
Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik
Hermien Hadiati
Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik
(Bagian Pertama) ,Airlangga University Press, Surabaya, 1984.
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009
L.J. van Apeldoor,
Pengantar Ilmu Hukum, Pradnja
Paramita, Jakarta, 1985
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum mazhab dan refleksinya,
1994, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung
Lon L. Fuller. The Morality of Law. New
Haven:Yale University Press, 1971
Mien Rukmini. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak
Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana
di Indonesia. Bandung: PT.
Alumni, 2003
S.P. Lili
Tjahjadi, Hukum Moral.
Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum-Suatu
Pengantar, Liberty, Jogyakarta, 1999
Theo Huijbers. Filsafat Hukum.Yogyakarta: Kanisius. 1995
W. Friedmann. Legal Theory
INTERNET :
http://edyrajo.blogspot.com/2012/09/hubungan-hukum-keadilan.html,
diakses tanggal 18-12-2013, pukul 10.39
[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum-Suatu Pengantar, Liberty, Jogyakarta, 1999, hal. 3.
[2] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar
Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 21 -22
[3] L.J. van Apeldoor, Pengantar
Ilmu Hukum, Pradnja Paramita, Jakarta, 1985, hal. 13.
[4] Ishaq,
Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2009, hal. 1.
[5]
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan
Masalah Medik (Bagian Pertama) ,Airlangga University Press, Surabaya, 1984.
[6] Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik, hal.81
[7] W. Friedmann. Legal
Theory. Hal.346
[8] Ibid
hal.345
[9] Andre
Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi.
Hal.19
[10] S.P. Lili Tjahjadi, Hukum
Moral. Hal 47
[11] Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, 2004, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 155
[12] Bello
Petrus, Hukum dan Moralitas, 2012,
Erlangga, Jakarta, Hal 39
[13] http://edyrajo.blogspot.com/2012/09/hubungan-hukum-keadilan.html,
diakses tanggal 18-12-2013, pukul 10.39
[14] Dewa Gede Atmajaya, Filsafat
Hukum, 2013, Setara Press, Malang, hal 70
[15] Bello
Petrus, Hukum dan Moralitas, 2012,
Erlangga, Jakarta, Hal 39
[16] Ibid, hal 40
[17] Lili
Rasjidi, Filsafat Hukum mazhab dan
refleksinya, 1994, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, hal 27
[18] Ibid. Hal 95
[19] Theo Huijbers. Filsafat Hukum.Yogyakarta: Kanisius. 1995. Hal 75
[20] Lon L.
Fuller. The Morality of Law. New Haven:Yale University Press, 1971. Hal
54-58
[21]
Mien
Rukmini. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan
Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Bandung: PT. Alumni, 2003. Hal 37
The Betway mobile app - The Jetz Group
BalasHapusThe Betway mobile app will give you 여주 출장안마 access to all 진주 출장안마 of the 성남 출장샵 famous bookmakers across the 사천 출장안마 world, 고양 출장안마 including William Hill, Ladbrokes, Coral, Bet365,