Kamis, 02 April 2015

Keadilan, Kepstian dan Kemanfaatan (Dalam Prespektif Filsafat Hukum)


KEADILAN, KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN
(PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM)

A.  PENGERTIAN DASAR TENTANG HUKUM
Manusia dilahirkan seorang diri, namun dalam hidupnya ia tidak dapat hidup sendiri. Ia butuh orang lain, ia butuh keluarga, butuh teman, butuh kawan, butuh masyarakat. Manusia adalah mahluk sosial. Aristoteles mengistilahkan ini sebagai zoon politicon.[1] Naluri manusia untuk hidup dengan orang lain itu dikenal dengan istilah gregariousness. Tanpa orang lain, manusia tidak akan bertahan hidup.
Sejak dilahirkan manusia mempunyai dua hasrat/keinginan, yakni hasrat untuk menjadi satu dengan manusia lain yang berbeda di sekelilingnya, yaitu masyarakat, dan hasrat untuk menjadi satu dengan alam sekelilingnya. Bahkan jika sudah bersatu dengan lingkungan alamnya, maka manusia akan sulit dipisahkan dengan lingkungan alam tersebut. Demikian pula halnya dengan masyarakat. Jika manusia sudah bersatu dengan masyarakatnya, maka manusia akan sulit dipisahkan dengan masyarakatnya itu.
Di lingkungan masyarakat, akan terjadi kontak di antara manusia yang satu dengan yang lain. Di dalam masyarakat manusia akan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya.
Sesuatu hal yang tidak mudah menciptakan definisi/pengertian tentang suatu hal. Pada tiap-tiap definisi akan terdapat kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga definisi yang satu akan terbantahkan oleh definisi yang lain.  Demikian pula halnya dengan definisi tentang hukum. Dalam kenyataannya banyak terdapat definisi tentang hukum yang dicetuskan oleh para sarjana. Di antaranya adalah sebagai berikut:[2]
1.   Menurut E. Utrecht,  hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu.
2.   Menurut Satjipto Rahardjo, hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan.
3.   Menurut J.C.T. Simorangkir, hukum adalah peraaturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukum. 
4.   Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum adalah ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan. Pada hakekatnya kaedah hukum merupakan perumusan pendapat atau atau pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaedah hukum bersifat umum dan pasif. 
Apabila diperhatikan, di antara definisi-definisi itu tidak ada yang mempunyai kesamaan di antara definisi yang satu dengan definisi yang lain. Bahkan jika diperhatikan lebih dalam lagi, masing-masing definisi itu mempunyai kelemahan-kelemahannya sendiri. Dalam artian definisi hukum yang satu terbantahkan oleh definisi hukum yang lain. Imanuel Kant, seorang sarjana berkebangsaan Jerman yang hidup  pada abad lalu mengatakan “Noch suchen die Juristen eine Definition zu Ihrem Begrife von Recht”, yang artinya “tidak ada seorang yuris pun yang dapat merumuskan definisi tentang hukum”.[3]
Lemaire mengatakan, Hukum sulit didefinisikan karena hukum mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu dalam satu definisi. Di samping itu hukum meliputi segala lapangan. Inilah yang semakin menyebabkan orang tidak mungkin membuat definisi tentang apa hukum itu[4] Namun demikian sebagai pegangan, berikut ini dikemukakan salah satu definisi di antara definisi-definisi hukum yang ada.
Hukum adalah salah satu pedoman tingkah laku manusia, yang sifatnya lebih kongkrit dan mempunyai akibat hukum jika atas hukum tersebut dilanggar atau tidak dipatuhi.[5] Hukum adalah :
1.   Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup masyarakat.
2.   Peraturan yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3.   Peraturan itu bersifat memaksa.
4.   Sanksi terhadap pelanggaran aturan itu adalah tegas.
B.  HUKUM DAN KEADILAN
Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum.
Pengertian Keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Secara hakiki dalam diskursus hukum, keadilan dapat dilihat dalam 2 arti pokok, yaitu dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materiil yang menuntut hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.[6] Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak literatur tersebut tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu secara tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan.
Namun pada garis besarnya, perdebatan mengenai keadilan terbagi atas 2 arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan yang metafisik yang diwakili oleh pemikiran Plato, sedangkan yang kedua keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik sebagaimana diuraikan oleh Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi. Sementara keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.[7] Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab perihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah, atau setidaknya alasan yang rasional. Sementara keadilan yang metafisik mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia berakal.[8]
Pemetaan dua arus utama pemikiran keadilan ini kemudian ditegaskan kembali  oleh John Rawls. John Rawls menjelaskan kembali perihal aliran pemikiran keadilan yang pada dasarnya tidak berbeda dengan yang telah disebutkan di atas, bahwa pada umumnya, aliran pemikiran keadilan juga terbagi atas dua arus utama, yang pertama aliran etis dan yang kedua aliran institutif. Aliran yang pertama menghendaki keadilan yang mengutamakan pada hak daripada manfaat keadilan itu sendiri, sementara yang kedua sebaliknya lebih mengutamakan manfaat daripada haknya. [9]
Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Namun secara umum, ada unsur-unsur formal dari keadilan, sesuai dengan pembagian aliran keadilan menurut Kelsen dan Rawls yang pada dasarnya terdiri atas;
1.   Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum.
2.   Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu.
Dengan unsur nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat ditambah bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai keadilan ini memiliki aspek empiris juga, disamping aspek idealnya,[10] maksudnya adalah apa yang dinilai adil dalam konteks hukum harus dapat diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya. Dengan adanya ukuran manfaat nilai keadilan ini pada akhirnya keadilan dapat dipandang menurut konteks yang empiris juga.
Seorang terdakwa misalnya, dapat merasakan suatu nilai keadilan jika apa yang dilakukan sebagai tindak pidana menurut hukumnya, dihukum sesuai dengan berat dari kesalahannya. Dengan demikian, terdakwa merasakan bahwa hukumannya adalah sebanding dengan kesalahan yang telah diperbuat, dan apa yang dianggapnya sebagai hal yang setimpal atau sebanding itu, merupakan pencerminan dari nilai keadilan yang ideal. Jika hukumannya dirasakan tidak sebanding, maka hukuman itu dapat dinyatakan sebagai perwujudan yang melawan nilai-nilai ideal dalam keadilan. Di sinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, apa yang pantas diterima oleh seseorang sebagai konsekuensi lanjutan dari norma hukum yang mengaturnya. Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sama derajatnya, dan sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya
keadilan adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya Istilah keadilan berasal dari kata adil yang berasal dari bahasa Arab. Kata adil berarti tengah. Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan sesuatu di tengah-tengah, tidak memihak. Keadilan juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana setiap orang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memperoleh apa yang menjadi haknya, sehingga dapat melaksanakan kewajibannya.
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum selain kepastian  dan kemanfaatan yang paling banyak dibicarakan. Idealnya hukum harus mengakomodasikan ketiganya. Namun ada yang berpendapat bahwa keadilan merupakan tujuan yang paling penting bahkan satu-satunya. Contohnya seorang hakim Indonesia, Bisma Siregar mengatakan “bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan“.[11]
Adil dan tidak adil merupakan bentuk kritik moral yang lebih spesifik daripada baik dan buruk atau benar dan salah , terlihat jelas dari fakta bahwa kita mungkin secara logis mengklaim sebuah hukum adalah baik karena hukum itu adil, atau bahwa hukm itu buruk karena tidak adil, namun kita tidak mengklaim bahwa hukum itu adil karena baik, atau tidak adil karena buruk.[12]
Menurut Roscoe Pound keadilan dikonsepkan sebagai hasil- hasil konkrit yang bisa di berikan kepada masyarakat. Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Dengan kata lain semakin meluas/ banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghindari pembenturan antara manusia. Jadi Keadilan adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek diluar dari kita. Objek yang diluar dari kita ini adalah manusia, sama dengan kita. Oleh karena itu ukuran tersebut tidak dapat di lepaskan dari arti yang kita berikan kepada manusia, tentang konsep kita kepada manusia.
Bagaimana anggapan kita tentang manusia, itulah yang membawakan ukuran-ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan terhadap orang lain. Apabila manusia itu kita anggap sebagai mahluk yang mulia, maka perlakuan kita kepadanya pun akan mengikuti anggapan yang demikian itu dan hal ini akan menentukan ukuran yang akan kita pakai dalam menghadapi mereka.[13] Dimana Thomas Aquinas menyatakan bahwa setiap orang secara moral hanya terikat untuk mentaati hukum yang adil, dan bukan kepada hukum yanng tidak adil. Hukum yang tidak adil harus dipatuhi hanya apabila tuntutan keadaan yakni untuk menghindari skandal atau kekacauan.[14]
Hubungan antara keadilan dan hukum identik dengan keadilan dengan kepatuhan kepada hukum. Namun pendapat ini keliru kecuali jika hukum diberi makna luas, karena pendapat hukum seperti ini akan membuat orang tidak bisa menjelaskan fakta bahwa kritik atas keadilan tidak terbatas pada pelaksanaan hukum dalam kasus-kasus tertentu, melainkan hukum itu sendiri juga sering kali dikritik berdasarkan adil atau tidaknya.
Dalam hukum pidana maupun perdata akan dipandang tidak adil jika dalam distribusi beban dan manfaat keduanya melakukan diskriminasi karakteristik seperti warna kulit atau keyakinan agama. Jika para pembunuh yang tergolong sebagai anggota gereja yang mapan akan dibebaskan dari hukuman.[15] Hukum seperti ini dalam masyarakat modern akan dicela sebagai hukum yang tidak adil.
Penilaian keadilan atau ketidakadilan hukum bisa jadi dihadapkan pada pendapat berlawanan yang dituntun oleh sebuah moralitas yang berbeda. Misalnya hukum yang mengecualikan atau tidak memberikan kekuasaan kepada anak-anak atau orang tidak sehat akalnya dalam pembuatan kontrak atau wasiat dianggap adil. Karena mereka tidak memiliki kapasitas, yang dimiliki oleh orang dewasa yang sehat akalnya. Diskrimasi ini dibuat atas alasan yang jelas-jelas relevan.[16]
Terkait dengan undang-undang bahwa undang-undang dibuat dengan tujuan kebaikan masyarakat, keamanan rakyat, perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu para pembuat undang-undang harus merumuskan dan menuliskan sesuai dengan moral dan kebahagiaan umum sehingga rakyat menerima dan mentaati, yang didalamnya tercakup seluruh hakikat dan seluruh daya keadilan.[17]
C.  HUKUM DAN KEPASTIAN
Hukum dan kepastian merupakan suatu tema yang sangat menarik untuk terus kita lakukan pengkajian dan kita diskusikan, hal ini dikarenakan antara hukum dan kepastian adalah dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Hukum ada adalah untuk adanya kepastian, adanya kepastian juga menjadikan hukum itu lebih ditaati.
Jaman kerajaan dulu yang dianggap hukum itu adalah titah raja, jadi apa yang dikatakan raja itulah hukumnya dan rakyat harus mentaatinya. Dalam keadaan seperti itu, hukum terkadang selalu berubah-ubah karena sesuai dengan keinginan raja, sehingga rakyat tidak tahu pasti apakah yang menjadi hukum hari ini, juga menjadi hukum pada hari-hari berikutnya atau akan berubah. Hal ini menimbulkan ketidakpastian di masyarakat sehingga siapapun yang mau berbuat atau bertindak selalu menunggu titah raja apa diperbolehkan atau tidak.
Dari gambaran yang sederhara tersebut, maka sangat penting manakala hukum itu mengandung kepastian. Untuk mewujudkan adanya kepastian maka hukum itu harus diciptakan terlebih dahulu sebelum perbuatan-perbuatan yang diatur dalam hukum itu dilakukan, sehingga masyarakat menjadi tahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan serta mengetahui konsekuensinya kalau mereka berbuat bertentangan atau melawan hukum. Disamping itu, hukum itu juga dapat dijadikan pedoman untuk bertindak dan berbuat oleh pejabat pemerintahan maupun masyarakat.
Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif [18].
Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai suatu nilai yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara filsafati hukum diharapkan dapat memenuhi aspek ontologi yaitu menciptakan ketentraman dan kebahagian bagi hidup manusia, sebagai suatu tujuan yang ingin dicapai setiap manusia dan merupakan hakikat dari hukum itu sendiri. Menurut Theo Huijbers hakekat hukum juga menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil (rapport du droit, inbreng van recht) [19]. Secara Epistemologi hukum dilahirkan melalui suatu metode tertentu yang sistematis dan obyektif serta selalu dilakukan pengkajian-pengkajian, sehingga melahirkan ilmu hukum yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Dalam aspek Aksiologi, hukum memiliki nilai-nilai yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum sebagaimana diartikan dalam pembahasan sebelumnya memiliki cakupan yang sangat luas, yang tidak hanya peraturan perundang-undangan atau sering disebut hukum positif tetapi juga hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Kaitannya dengan kepastian, timbul suatu pertanyaan “apakah semua hukum tersebut memiliki nilai kepastian”. Pertanyaan ini akan terjawab manakala kita mengkaji hukum-hukum tersebut secara lebih mendalam.
Hukum yang ditaati masyarakat mengandung nilai kepastian tidak terkecuali hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Nilai kepastian inilah yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat sehingga dapat memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban. Hukum yang hidup dalam masyarakat seperti misalnya hukum adat justru nilai ketaatannya terkadang melebihi hukum positif, masyarakat terkadang lebih takut dengan hukum adat dibandingkan hukum positif. Namun demikian, kepastian hukum yang ada dalam hukum adat tentunya tidak sama dengan kepastian hukum yang ada dalam hukum positif, karena hukum adat bersifat lokal dan umumnya berbeda dengan hukum adat-hukum adat di wilayah lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan.
Untuk tercapainya nilai kepastian di dalam hukum, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1.   Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2.   Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3.   Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4.   Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5.   Bahwa putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini yang disebut sebagai kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem  hukum.
Menurut Lon Fuller hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian apabila di dalamnya terdapat 8 (delapan) asas, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.   Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal  tertentu.
2.   Peraturan tersebut diumumkan kepada public.
3.   Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas.
4.   Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
5.   Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
6.   Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan.
7.   Tidak boleh sering diubah-ubah.
8.   Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.[20]
Asas-asas tersebut mengandung makna bahwa hukum dapat dikatakan akan memiliki nilai kepastian jika hukum itu ada atau dibuat sebelum perbuatan yang diatur dalam hukum tersebut ada (asas legalitas). Kepastian ini juga menjadi tujuan dari hukum disamping tujuan yang lain yaitu keadilan dan kemanfaatan.
Asas legalitas merupakan salah satu ciri pokok dari negara hukum untuk mencapai adanya kepastian hukum. Asas legalitas menjadikan hukum digunakan sebagai landasan berpijak bagi setiap aktivitas manusia dan subyek hukum lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu ciri negara hukum yang didalamnya juga tersurat asas legalitas, sebagaimana disampaikan Sri Soemantri bahwa Negara Hukum mengandung empat unsur penting, yaitu:
1.   Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum/peraturan perundang-undangan.
2.   Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
3.   Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara
4.   Adanya pengawasan (dari badan-badan peradilan).[21]
D.  HUKUM DAN KEMANFAATAN
Pembicaraan tentang hukum saat ini tidak dapat dipisahkan dengan konsep-konsep hukum yang telah berkembang ribuan tahun yang lalu. Istilah hukum pada masa lalu identik dengan istilah moral atau etika. Pembahasan tentang hukum, moral dan etika saat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Terdapat banyak tokoh ahli hukum yang berperan dalam pengembangan konsep hukum yang dibagi dalam beberapa aliran sesuai pandangan pemikirannya. Kesemuanya bertujuan untuk merumuskan konsep yang paling ideal dan baik tentang hukum sehingga dapat memberikan manfaat dalam kehidupan manusia. Hukum sebagai moral dan aturan dipikirkan, dirumuskan dan diberlakukan untuk mewujudkan ketertiban, ketentraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Aliran-aliran tersebut diantaranya: aliran hukum alam, aliran positivisme, aliran utilitarianisme, aliran sejarah, dan aliran realisme. Berbagai aliran pemikiran mewarnai konsep dan pemberlakuan hukum selama ribuan tahun.          
Aliran hukum alam atau hukum kodrat terbagi dalam dua kelompok pemikiran, irrasional dan rasional, merupakan aliran yang paling tua dan cukup eksis sampai abad ke 17 an. Tokoh yang dibahas dalam buku ini adalah Aristoteles, Thomas Aquinas, Hugo de Groot (Grotius) dan Immanuel Kant. Aristoteles filsuf yang lahir dan menetap di Yunani memandang moral sebagai hukum. Sumber moral adalah Tuhan dan rasio manusia. Segala sesuatu akan menjadi baik jika didasarkan pada keduanya. Hukum yang didasarkan pada perintah Tuhan dan rasio manusia terkandung prinsip keadilan yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Keadilan harus selalu diupayakan walaupun dalam kenyataannya menurut Aristoteles kebahagiaan yang hakiki hanya berada ketika terjadi perjumpaan antara manusia dengan Tuhannya di akherat.
Thomas Aquinas yang hidup seribu tahun lebih setelah Aristoteles memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Aristoteles. Pandangannya tentang lex aeterna, lex devina, lex natura dan lex humana menunjukkan adanya campur tangan dari Tuhan dan rasio manusia dalam pembentukan dan pemberlakuan hukum. Tuhan sudah menentukan kodratnya yang bersifat mutlak, manusia memiliki rasio yang diberikan oleh Tuhan, keberadaan alam yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia, manusia mengolah semuanya menjadi moral atau hukum yang baik dan diterapkan dalam kehidupan manusia. 
Grotius menyatakan hukum atau moral berpangkal pada rasio manusia yang diberikan oleh Tuhan. Walaupun demikian Tuhan tidak dapat mempengaruhi rasio manusia yang telah terbentuk seiring dengan kondisi alam. Alam akan lebih dominan mempengaruhi rasio. Hukum akan bermanfaat jika hukum dibuat didasarkan pada adanya kontrak antara rakyat dan pemerintah, atau antar penguasa. Manusia harus menjaga miliknya dan miliki orang lain secara adil serta menepati janji merupakan unsur yang sangat penting agar kontrak yang sudah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika demikian maka manusia akan mendapatkan kemanfaatan dari hukum. 
Immanuel Kant berpendapat bahwa akal budi tidak sebatas pada realitas yang nampak, realitas tersebut telah dipengaruhi oleh rasio manusia, persepsi manusia sangat mempengaruhi suatu obyek. Moralitas manusia harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap orang lain. Hukum akan berdaya guna jika individu ditempatkan sebagai pelaku, diberi kebebasan, dan otonomi. Individu harus menjalankan kewajibannya, pemenuhan kewajiban yang terbaik adalah yang didasarkan pada dorongan kesadaran akan adanya kewajiban, bukan karena kebijaksanaan atau rasa belas kasihan atau emosional. Ketaatan pada hukum didasarkan pada dorongan dari luar, yaitu keharusan atau kewajiban untuk melaksanakannya. Jika masyarakat melaksanakan hukum karena dorongan kewajiban tersebut maka keadilan akan tercapai.
Aliran positivisme hukum yang dikembangkan oleh John Austin dan Hans Kelsen memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Austin mengakui Tuhan sebagai pembentuk hukum. Hukum yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah hukum yang dibuat oleh manusia, penguasa negara, kelompok atau individu yang memiliki kewenangan. Hukum akan berdaya guna jika berisi perintah, dibuat oleh yang memiliki kekuasaan, adanya sanksi yang menjadi dorongan masyarakat untuk melaksanakannya.
Hans Kelsen sangat terkenal dengan teori hukum murninya, hukum harus bebas dari pengaruh sosial, politik, budaya, sejarah dll. Hukum yang baik harus didasarkan pada grundnorm atau norma dasar yang diperoleh dari nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada keyakinan Kelsen bahwa semua manusia memiliki potensi keadilan yang seringkali tidak disadarinya. Dalam grundnorm akan terbentuk stufenbau teori yaitu penjenjangan dalam hukum, mulai yang tertinggi (paling umum dan abstrak) sampai terendah (paling khusus dan konkrit). Jika hukum dibuat demikian maka pelaksanaan hukum dapat melahirkan ketertiban dan kedamaian.    
Aliran Utilitarianisme mendapat dukungan pemikiran dari beberapa tokoh, mulai dari pencetusnya Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Bentham dikenal sebagai peletak dasar aliran utilitarianisme menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan kebahagiaan bagi sebesar-besarnya jumlah manusia. Kebahagiaan tersebut harus baik dan tidak mengganggu orang lain walaupun penekananya pada kebahagiaan individu.
John Stuart Mill sebagai pengikut Bentham memberikan argumen yang agak berbeda dengan Bentham. Mill menyatakan antara keadilan, kegunaan, individu, dan masyarakat umum yang saling berkaitan. Hukum akan menjadi baik dan bermanfaat jika didasari oleh rasa keadilan, manusia cenderung akan kesal jika tidak dapat memperoleh kebahagiaan. Sementara itu dalam diri manusia terdapat rasa sosial yang dapat mengobati kekesalannya atas tidak didapatkannya kebahagiaan. Dalam hal yang demikian itu terkandung unsur pertahanan diri dan simpati yang bersifat alamiah.
Rudolf von Jhering memiliki pandangan yang sama dengan Bentham dan Mill bahwa tujuan hukum adalah mencapai kebahagiaan. Pandangan tentang kebahagiaan yang diperoleh sangat bersifat indivudualistis. Pusat kebahagiaan adalah cita diri yang dalam pemerolehannya tidak dapat dilepaskan dari orang lain atau masyarakat. Diperlukan adanya kerjasama dengan orang lain untuk mencapai kebahagiaan. Akan tetapi semua yang dilakukan para individu ini pasti memiliki pamrih, yaitu demi terpenuhi kebutuhannya. Dengan demikian hukum yang baik dan bermanfaat jika hukum mengakomodir kepentingan individu dalam memperoleh kebahagiaan dan mampu mampu menyerasikan antara kepentingan individu dan masyarakat. Pembuat hukum yang baik adalah yang dapat mengetahui kepentingan masyarakat.   
Aliran Sejarah mengajarkan bahwa hukum terbentuk dalam masyarakat. Dua tokoh aliran sejarah adalah Von Savigny dan John Frederich Puchta. Von Savigny menyatakan hukum tumbuh karena rasa keadilan yang terletak pada jiwa bangsa. Hukum telah ada pada masing-masing masyarakat seiring dengan kebiasaan dan adat-istiadat mereka. Tugas ilmuan hukum adalah mengeksplorasi, menemukan, dan merumuskan kembali menjadi aturan-aturan yang berlaku. Kemanfaatan dan kegunaan hukum dapat terwujud dengan baik jika pembuatan dan pelaksanaannya mengacu pada nilai-nilai, kebiasaan dan adat istiadat dalam masyarakat tersebut.
Puchta adalah murid Savigny, hukum dapat dibentuk dari adat istiadat, undang-undang, atau karya ahli hukum. Menurutnya ada bangsa alam dan bangsa nasional. Penemuan oleh ilmuan hukum dapat dijadikan sebagai peraturan bersama jika disahkan oleh masyarakat bersama melalui negara. Negara punya kewenangan untuk menerapkan aturan-aturan yang dirancang berdasarkan hasil riset para ilmuan, hukum baru berlaku setelah ada pengesahan dari negara. Dengan demikian dapat dikatakan hukum yang baik sebetulnya adalah yang digali diambil dari kebiasaan dalam masyarakat. Hukum tersebut akan lebih bermanfaat bagi masyarakat jika telah disahkan oleh negara sebagai hukum yang berlaku.
Aliran Sociological Jurisprudence dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa hukum memiliki keterkaitan yang sangat besar dengan masyarakat. Dua tokoh terkenal yang dibahas adalah Eugen Ehrlich dari Eropa dan Roscou pound dari Amerika. Ehrlich menyatakan bahwa hukum yang baik adalah aturan-aturan atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian hukum akan dapat berjalan dengan baik jika hukum dilahirkan dari kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat.
Roscou pound sangat terkenal dengan teorinya law as a tool of social engineering atau hukum adalah sebagai alat untuk merekayasa masyarakat. Hukum yang baik berisi tentang keinginan-keinginan dan kepentingan dari anggota masyarakat. Hukum yang didasarkan pada keinginan atau kebutuhan masyarakat tersebut akan lebih mudah untuk merekayasa masyarakat agar tindakannya sesuai dengan yang diharapkan oleh hukum atau pembuat hukum. 
Aliran Realisme dibagi menjadi dua, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Realisme Amerika mengemukakan bahwa hukum yang baik adalah yang dilahirkan dari pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam masyarakat. Pihak yang paling cocok untuk melahirkan peraturan adalah hakim sebagai pihak yang berpengalaman langsung menangani berbagai masalah hukum. Hukum harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat agar dapat bermanfaat secara maksimal.
Menurut aliran Realisme Skandinavia menyatakan bahwa hukum dikembangkan dengan melakukan pengamatan. Pengembangan hukum yang demikian akan lebih mengilmiahkan hukum sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Hukum yang dibuat harus diartikan sebagai peraturan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama. Hukum akan membentuk moral masyarakat menjadi lebih baik. Demi tercapainya tujuan tersebut maka pembuatan hukum harus didasarkan pada analisis kebutuhan masyarakat. Pembuatan hukum melalui observasi yang didasarkan demi kesejahteraan masyarakatlah yang dapat menjadikan hukum bermanfaat bagi kehidupan manusia.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi.
Bello Petrus, Hukum dan Moralitas, 2012, Erlangga, Jakarta
Bello Petrus, Hukum dan Moralitas, 2012, Erlangga, Jakarta
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, 2004, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Dewa Gede Atmajaya, Filsafat Hukum, 2013, Setara Press, Malang
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik (Bagian Pertama) ,Airlangga University Press, Surabaya, 1984.
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
L.J. van Apeldoor, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnja Paramita, Jakarta, 1985
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum mazhab dan refleksinya, 1994, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung
Lon L. Fuller. The Morality of Law. New Haven:Yale University Press, 1971
Mien Rukmini. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Bandung:  PT. Alumni, 2003
S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum-Suatu Pengantar, Liberty, Jogyakarta, 1999
Theo Huijbers. Filsafat Hukum.Yogyakarta: Kanisius. 1995
W. Friedmann. Legal Theory

INTERNET :





[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum-Suatu Pengantar, Liberty, Jogyakarta, 1999, hal. 3.
[2] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 21 -22
[3] L.J. van Apeldoor, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnja Paramita, Jakarta, 1985, hal. 13.
[4] Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 1.
[5] Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik (Bagian Pertama) ,Airlangga University Press, Surabaya, 1984.
[6] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, hal.81
[7] W. Friedmann. Legal Theory. Hal.346
[8] Ibid hal.345
[9] Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi. Hal.19
[10] S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral. Hal 47
[11] Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, 2004, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 155
[12] Bello Petrus, Hukum dan Moralitas, 2012, Erlangga, Jakarta, Hal 39 
[14] Dewa Gede Atmajaya, Filsafat Hukum, 2013, Setara Press, Malang, hal 70
[15] Bello Petrus, Hukum dan Moralitas, 2012, Erlangga, Jakarta, Hal 39 
[16] Ibid, hal 40
[17] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum mazhab dan refleksinya, 1994, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, hal 27
[18] Ibid. Hal 95
[19] Theo Huijbers. Filsafat Hukum.Yogyakarta: Kanisius. 1995. Hal 75
[20] Lon L. Fuller. The Morality of Law. New Haven:Yale University Press, 1971. Hal 54-58
[21] Mien Rukmini. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Bandung:  PT. Alumni, 2003. Hal 37

1 komentar:

  1. The Betway mobile app - The Jetz Group
    The Betway mobile app will give you 여주 출장안마 access to all 진주 출장안마 of the 성남 출장샵 famous bookmakers across the 사천 출장안마 world, 고양 출장안마 including William Hill, Ladbrokes, Coral, Bet365,

    BalasHapus